Friday 27 February 2015

CERPEN Kecup Cium Untuk Ibu



Namaku Aisyah, gadis remaja biasa yang baru bangun dari tidur lelapnya. Sudah menjadi kebiasaan bagiku meletakkan jam alarmku bersebelahan dengan kamar mandi. Supaya mau tidak mau aku harus berjalan untuk mematikan si berisik itu.
Alarm berdering. Kriiing.. kriing.. kriiiingg! Nyaring sekali bunyinya. Benar saja jam menunjukan pukul 04.15 WIB. Suhu kamarku dingin sekali saat itu karena aku tinggal di kaki gunung Manglayang.
Aku keluar dari selimut dan berharap supaya nampak seperti ulat yang keluar dari kepompong. Berubah menjadi sosok yang lebih cantik dari sebelumnya. Kupu-kupu yang penuh warna dan siap terbang mencari nektar yang manis. Ups, aku melamun.
Aku pun meminum segelas air putih di sebelah si berisik itu. Lega sekali tenggorokanku setelah itu. Seluruh nyawaku telah berkumpul setelah meminum air yang sengaja aku simpan sebelum tidur itu. Melompatlah aku ke kamar mandi, aku harus menunaikan kewajibanku. Segarnya percikan air wudu yang membasuh wajahku. Dua rakaat pun aku tunaikan seraya berharap ada keajaiban yang akan Allah berikan kepadaku hari ini.
Ibu adalah orang pertama yang terucap di setiap doaku. Berharap supaya Allah memberikan kasih sayang-Nya sebagaimana ibu memberikan kasih sayangnya kepadaku dari kecil. Ayah telah meninggalkan kami sejak aku masih balita. Kadang aku bersedih karena Allah memanggilnya terlalu cepat sehingga sampai saat ini aku tidak pernah tahu sosoknya. Namun, ibu selalu mengatakan bahwa wajahku mirip ayah. Ayah adalah lelaki hebat, bertanggungnjawab, dan menyayangi keluarganya.
“Ayahmu sangat tampan namun yang membuat ibu jatuh cinta karena kemuliaan hatinya. Ibu sangat menyayanginya. Wajahmu mengingatkan ibu kepadanya.” Kalimat itu terus menerus ibu ulangi ketika aku selalu bertanya bagaimana sosok ayah. Ibu adalah sosok wanita yang tegar, dia seakan telah bersumpah untuk tidak akan bersedih di hadapan anaknya.
Umurku sebentar lagi enam tahun. Kala itu ibu bekerja sebagai pedagang pakaian keliling. Berjalan menyusuri setiap gang di kampung-kampung yang berbeda. Aku sering memaksa untuk ikut ibu berdagang walau sering ibu tolak dengan alasan aku harus sekolah. Sekolah sama saja dengan mencekik ibu pelan-pelan. Aku bersikukuh mempertahankan logikaku saat itu. Namun yang membuatku takjub adalah tatapan mata ibu ketika berusaha meyakinkanku. Ibu pun bekerja seharian demi memastikan cukup biaya untuk sekolahku.
Tahun berikutnya aku didaftarkan ibu masuk Sekolah Dasar. Aku adalah seorang anak yang supel dan ceria. Sebetulnya agak sedikit tomboy sehingga teman laki-lakiku menghindar dariku. Namun, aku tetaplah gadis mungil yang imut. Ibu selalu memakaikan kerudung yang lucu untukku. Sehingga orangtua teman-temanku selalu gemas ketika berjumpa denganku.
Berbeda dengan teman-temanku yang selalu diantar dan diawasi seharian di sekolah, aku sebaliknya. Membuatku sedikit iri. Karena teman sekelasku seperti melihat makhluk aneh walau sesungguhnya itu timbul dari perasaanku saja. Selain anak yang ceria, aku juga termasuk anak yang rewel. Aku selalu mengamuk kepada ibu untuk ikut berdagang bersamanya. Namun, ibu tidak pernah satu kali pun memarahi karena sikapku. Dia hanya tersenyum kepadaku dan mengatakan,
“Besok ibu temenin kamu di sekolah ya.”
Setidaknya ucapan ibu menyumpal mulutku yang rewel.
Selama dua minggu aku berangkat ke sekolah bersama ibu. Aku menyeringai dan menatap mata teman-temanku dengan mimik penuh kemenangan. Ibu selalu mengintip gadis kecilnya dari jendela. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Aku senang sekali. Aku menjadi sangat aktif di kelas. Ibu guru pun terkesima olehku. Ibu hanya tersenyum saja menatapku. Aku tersenyum dan hati kecilku berkata,
“Ibu, telima kasih!”
Aku kini menjadi lebih mandiri. Semangat belajarku berkobar. Ibu selalu mengajariku dengan tulus. Aku sangat senang jika ibu menantangku untuk menghapal Alquran. Karena ibu selalu memberikan hadiah, jika aku berhasil menuntaskan hapalanku.
“Ibu, telima kasih!”
Sekarang, aku berangkat sekolah dengan menggendong tas yang lebih besar dari tubuhku sendirian. Ibu tidak membujukku sama sekali. Ibu pun tersenyum tulus ketika aku mantap berkata,
‘Bu, besok Aisyah belangkat sekolah sendili yah. Deket ini kok bu.”
Alhasil, ibu dan aku berangkat bersama setiap pagi namun kemudian kami berpisah. Ibu berdagang dan aku ke SD Sinar Harapan. Tidak sedikit pun mengurangi semangat belajarku. Aku menjadi juara kelas. Ibu meneteskan air mata dan menciumi pipi tembemku.
“Telima kasih Ibu!”
Aku beranjak membaca bahan untuk kuliah hari ini. Kebetulan, hari ini kuliah pertamaku pukul 10.20 WIB. Jadi cukup membuatku agak santai pagi ini. Aku menemukan kalimat yang di dalamnya tersisip kata pengorbanan. Selintas aku ingat ibu. Beasiswa yang kuterima ini berkat motivasi darinya. Bekerja sekuat tenaga menjadikan siang sebagai malam dan sebaliknya.
Ketika aku masuk SMA, ibu pindah profesi menjadi koki. Ya, ibu pandai sekali memasak. Walau dulu jarang sekali untuk makan daging. Namun, sayur capcay ibu adalah yang terbaik menurut versiku.
Pengorbanan untuk aku, ibu melakukan ini semua demi kebahagiaan putrinya. Putrinya yang berevolusi menjadi wanita bertaqwa setelah bergabung dengan Ikatan Remaja Masjid sejak SMP. Inikah yang dinamakan pengorbanan yang sejati?
Pengorbanan. Sering aku dengar dari teman-temanku tentang kata itu. Tapi mereka selalu menyisipkan sebelum kata pacarku. Mereka hanya membahas tentang seberapa besar pengorbanan pacarnya kepada mereka atau sebaliknya. Pengorbanan macam apa itu? Kata hatiku.
Ayah, anakmu kini telah tumbuh dewasa karena ibu. Aku mulai mengetahui apa alasan ayah mencintai ibu karena aku pun sangat mencintainya. Ayah, betapa beruntungnya aku karena masih memiliki ibu. Ibu yang seperti dia. Walau tak sedikit teman-temanku yang sering membicarakan keburukan ibunya. Mereka bersemangat sekali ketika membicarakan ibunya yang sering cerewet menyuruh dia makan, cerewet agar tidak pulang malam, dan cerewet khas ibu lainnya. Namun aku percaya satu hal.. ayah, ibu seperti itu karena ibu menyayangi anaknya bukan?
Ketika mengingat ibu, aku terharu sekaligus kagum. Dari keringatnyalah aku bisa duduk di bangku kuliah ini. Ibu adalah motivasi terbesarku. Ibu adalah pahlawan yang selalu ada di hatiku. Apa jadinya aku jika tidak ada ibu? Sungguh pertanyaan yang tidak mau aku jawab. Hati kecilku belum siap untuk menerima kemungkinan tersebut.

No comments:

Post a Comment