Namaku Aisyah, gadis remaja biasa
yang baru bangun dari tidur lelapnya. Sudah menjadi kebiasaan bagiku meletakkan
jam alarmku bersebelahan dengan kamar mandi. Supaya mau tidak mau aku harus
berjalan untuk mematikan si berisik itu.
Alarm berdering. Kriiing.. kriing..
kriiiingg! Nyaring sekali bunyinya. Benar saja jam menunjukan pukul 04.15 WIB.
Suhu kamarku dingin sekali saat itu karena aku tinggal di kaki gunung
Manglayang.
Aku keluar dari selimut dan berharap
supaya nampak seperti ulat yang keluar dari kepompong. Berubah menjadi sosok
yang lebih cantik dari sebelumnya. Kupu-kupu yang penuh warna dan siap terbang
mencari nektar yang manis. Ups, aku melamun.
Aku pun meminum segelas air putih di
sebelah si berisik itu. Lega sekali tenggorokanku setelah itu. Seluruh nyawaku
telah berkumpul setelah meminum air yang sengaja aku simpan sebelum tidur itu.
Melompatlah aku ke kamar mandi, aku harus menunaikan kewajibanku. Segarnya
percikan air wudu yang membasuh wajahku. Dua rakaat pun aku tunaikan seraya
berharap ada keajaiban yang akan Allah berikan kepadaku hari ini.
Ibu adalah orang pertama yang
terucap di setiap doaku. Berharap supaya Allah memberikan kasih sayang-Nya
sebagaimana ibu memberikan kasih sayangnya kepadaku dari kecil. Ayah telah
meninggalkan kami sejak aku masih balita. Kadang aku bersedih karena Allah
memanggilnya terlalu cepat sehingga sampai saat ini aku tidak pernah tahu
sosoknya. Namun, ibu selalu mengatakan bahwa wajahku mirip ayah. Ayah adalah
lelaki hebat, bertanggungnjawab, dan menyayangi keluarganya.
—
“Ayahmu sangat tampan namun yang
membuat ibu jatuh cinta karena kemuliaan hatinya. Ibu sangat menyayanginya.
Wajahmu mengingatkan ibu kepadanya.” Kalimat itu terus menerus ibu ulangi
ketika aku selalu bertanya bagaimana sosok ayah. Ibu adalah sosok wanita yang
tegar, dia seakan telah bersumpah untuk tidak akan bersedih di hadapan anaknya.
Umurku sebentar lagi enam tahun.
Kala itu ibu bekerja sebagai pedagang pakaian keliling. Berjalan menyusuri
setiap gang di kampung-kampung yang berbeda. Aku sering memaksa untuk ikut ibu
berdagang walau sering ibu tolak dengan alasan aku harus sekolah. Sekolah sama
saja dengan mencekik ibu pelan-pelan. Aku bersikukuh mempertahankan logikaku
saat itu. Namun yang membuatku takjub adalah tatapan mata ibu ketika berusaha
meyakinkanku. Ibu pun bekerja seharian demi memastikan cukup biaya untuk
sekolahku.
Tahun berikutnya aku didaftarkan ibu
masuk Sekolah Dasar. Aku adalah seorang anak yang supel dan ceria. Sebetulnya
agak sedikit tomboy sehingga teman laki-lakiku menghindar dariku. Namun, aku
tetaplah gadis mungil yang imut. Ibu selalu memakaikan kerudung yang lucu
untukku. Sehingga orangtua teman-temanku selalu gemas ketika berjumpa denganku.
Berbeda dengan teman-temanku yang
selalu diantar dan diawasi seharian di sekolah, aku sebaliknya. Membuatku
sedikit iri. Karena teman sekelasku seperti melihat makhluk aneh walau
sesungguhnya itu timbul dari perasaanku saja. Selain anak yang ceria, aku juga
termasuk anak yang rewel. Aku selalu mengamuk kepada ibu untuk ikut berdagang
bersamanya. Namun, ibu tidak pernah satu kali pun memarahi karena sikapku. Dia
hanya tersenyum kepadaku dan mengatakan,
“Besok ibu temenin kamu di sekolah ya.”
Setidaknya ucapan ibu menyumpal mulutku yang rewel.
“Besok ibu temenin kamu di sekolah ya.”
Setidaknya ucapan ibu menyumpal mulutku yang rewel.
Selama dua minggu aku berangkat ke
sekolah bersama ibu. Aku menyeringai dan menatap mata teman-temanku dengan
mimik penuh kemenangan. Ibu selalu mengintip gadis kecilnya dari jendela. Aku
jadi salah tingkah dibuatnya. Aku senang sekali. Aku menjadi sangat aktif di
kelas. Ibu guru pun terkesima olehku. Ibu hanya tersenyum saja menatapku. Aku
tersenyum dan hati kecilku berkata,
“Ibu, telima kasih!”
“Ibu, telima kasih!”
Aku kini menjadi lebih mandiri.
Semangat belajarku berkobar. Ibu selalu mengajariku dengan tulus. Aku sangat
senang jika ibu menantangku untuk menghapal Alquran. Karena ibu selalu
memberikan hadiah, jika aku berhasil menuntaskan hapalanku.
“Ibu, telima kasih!”
Sekarang, aku berangkat sekolah
dengan menggendong tas yang lebih besar dari tubuhku sendirian. Ibu tidak
membujukku sama sekali. Ibu pun tersenyum tulus ketika aku mantap berkata,
‘Bu, besok Aisyah belangkat sekolah sendili yah. Deket ini kok bu.”
Alhasil, ibu dan aku berangkat bersama setiap pagi namun kemudian kami berpisah. Ibu berdagang dan aku ke SD Sinar Harapan. Tidak sedikit pun mengurangi semangat belajarku. Aku menjadi juara kelas. Ibu meneteskan air mata dan menciumi pipi tembemku.
“Telima kasih Ibu!”
‘Bu, besok Aisyah belangkat sekolah sendili yah. Deket ini kok bu.”
Alhasil, ibu dan aku berangkat bersama setiap pagi namun kemudian kami berpisah. Ibu berdagang dan aku ke SD Sinar Harapan. Tidak sedikit pun mengurangi semangat belajarku. Aku menjadi juara kelas. Ibu meneteskan air mata dan menciumi pipi tembemku.
“Telima kasih Ibu!”
—
Aku beranjak membaca bahan untuk
kuliah hari ini. Kebetulan, hari ini kuliah pertamaku pukul 10.20 WIB. Jadi
cukup membuatku agak santai pagi ini. Aku menemukan kalimat yang di dalamnya
tersisip kata pengorbanan. Selintas aku ingat ibu. Beasiswa yang kuterima ini
berkat motivasi darinya. Bekerja sekuat tenaga menjadikan siang sebagai malam
dan sebaliknya.
—
Ketika aku masuk SMA, ibu pindah profesi
menjadi koki. Ya, ibu pandai sekali memasak. Walau dulu jarang sekali untuk
makan daging. Namun, sayur capcay ibu adalah yang terbaik menurut versiku.
Pengorbanan untuk aku, ibu melakukan ini semua demi kebahagiaan putrinya. Putrinya yang berevolusi menjadi wanita bertaqwa setelah bergabung dengan Ikatan Remaja Masjid sejak SMP. Inikah yang dinamakan pengorbanan yang sejati?
Pengorbanan. Sering aku dengar dari teman-temanku tentang kata itu. Tapi mereka selalu menyisipkan sebelum kata pacarku. Mereka hanya membahas tentang seberapa besar pengorbanan pacarnya kepada mereka atau sebaliknya. Pengorbanan macam apa itu? Kata hatiku.
Pengorbanan untuk aku, ibu melakukan ini semua demi kebahagiaan putrinya. Putrinya yang berevolusi menjadi wanita bertaqwa setelah bergabung dengan Ikatan Remaja Masjid sejak SMP. Inikah yang dinamakan pengorbanan yang sejati?
Pengorbanan. Sering aku dengar dari teman-temanku tentang kata itu. Tapi mereka selalu menyisipkan sebelum kata pacarku. Mereka hanya membahas tentang seberapa besar pengorbanan pacarnya kepada mereka atau sebaliknya. Pengorbanan macam apa itu? Kata hatiku.
Ayah, anakmu kini telah tumbuh
dewasa karena ibu. Aku mulai mengetahui apa alasan ayah mencintai ibu karena
aku pun sangat mencintainya. Ayah, betapa beruntungnya aku karena masih
memiliki ibu. Ibu yang seperti dia. Walau tak sedikit teman-temanku yang sering
membicarakan keburukan ibunya. Mereka bersemangat sekali ketika membicarakan
ibunya yang sering cerewet menyuruh dia makan, cerewet agar tidak pulang malam,
dan cerewet khas ibu lainnya. Namun aku percaya satu hal.. ayah, ibu seperti
itu karena ibu menyayangi anaknya bukan?
—
Ketika mengingat ibu, aku terharu
sekaligus kagum. Dari keringatnyalah aku bisa duduk di bangku kuliah ini. Ibu
adalah motivasi terbesarku. Ibu adalah pahlawan yang selalu ada di hatiku. Apa
jadinya aku jika tidak ada ibu? Sungguh pertanyaan yang tidak mau aku jawab.
Hati kecilku belum siap untuk menerima kemungkinan tersebut.
No comments:
Post a Comment