Friday, 27 February 2015

Contoh RESENSI buku non fiksi




Tugas Bahasa Indonesia "Menulis Resensi Buku Non-Fiksi"

Ketika Orde Baru Berakhir

Judul                : Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa
Penulis             : Asvi Warman Adam
Penerbit           : Kompas, PT. Kompas Media Nusantara
Tahun              : 2009
Tebal               :257 halaman

Buku ini merupakan kumpulan artikel Dr. Asvi Warman Adam yang pernah terbit di Harian Kompas. Lalu ditambah lagi dengan satu tulisan lagi dari Koran lain tentang Supriyadi. Asvi Warman Adam menulis tentang sejarah dengan sisi lain dan menguraikannya menjadi suatu kebenaran sejarah yang selama ini ditutupi tirani kekuasaan Orde Baru. Dengan bahasa yang lugas, Asvi mengemukakan berbagai kontroversi tentang sejarah dan mengupasnya satu-persatu.
Buku ini menyinggung enam tokoh yang pernah menjadi Presiden RI dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau RI (Republik Indonesia) dianggap sebagai suatu kesinambungan dari tahun 1945 sampai sekarang, maka ada dua nama lagi yang perlu karena mereka pernah menjalankan fungsi Presiden (walaupun hanya dalam hitungan bulan) yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat. Sjafruddin yang menjadi ketua PDRI dengan ibu kota Bukittinggi dan Mr. Assaat yang menjadi Presiden RI saat Soekarno menjadi Presiden RIS. Tentu juga ada tokoh-tokoh lain seperti Agus Salim yang mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia merdeka, Sunario yang sangat tebal rasa kebangsaannya, Natsir perdana menteri yang tekenal dengan Mosi Integralnya, serta Hoegeng jendral polisi yang sulit ditandingi kejujurannya.
Asvi berpendapat sejarah tidak terlepas dari kekuasaan. Penguasa memerlukan sejarah sebagai legitimasi. Untuk itu dilakukan pembengkokan sejarah seperti yang terjadi pada era Orde Baru melalui kurikulum serta buku pelajaran sejarah, museum, monument, film dan berbagai peringatan. Dengan buku ini Peneliti Utama LIPI ini ingin meluruskan berbagai rekayasa sejarah yang sengaja dibuat rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaanya. Lahirnya Pancasila dan Serangan Umum 1 maret 1949 adalah dua contoh rekayasa yang sudah diluruskan.
Polemik tentang pengangkatan Pahlawan Nasional pun dihadirkan dalam buku ini. Mengapa ada seorang yang dianggat menjadi Pahlawan Nasional namun sebagian lagi tidak dianggat (oleh Presiden)?. Jika betul daftar Pahlawan Nasional adalah album perjuangan segenap anak bangsa, mangapa etnis Tionghoa tidak terwakili. Pahlawan Nasional yang bersinggungan dengan kelompok kiri pun seolah dilenyapkan dalam daftar Pahlawan Nasional, seperti Tan Malaka dan Alimin. Jika sastrawan seperti Abdul Muis dan Ismail Marzuki bisa mendapat gelar terhirmat ini, mengapa seorang Pembina olah raga atau atlet tidak?
Penulis yang lulus doctor sejarah dari EHESS Paris tahun 1990 ini juga meneliti tentang masalah-masalah ASEAN, Vietnam dan Kamboja. Setelah 1998 dia sering menulis tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi Indonesia dari prespektif korban. Sayangnya, buku ini hanya memuat sejarah pasca era Kebangkitan Nasional sampai Reformasi. Padahal perjalanan bangsa ini sudah dimulai dengan berdirinya berbagai kerjaan di Nusantara sejak abad ke-4 masehi. Sejarah era tersebut juga masih banyak menimbulakan kontroversi, seperti pusat kerajaan Majapahit yang belum jelas, asal Walisongo yang masih diperdebatkan para ahli dan beberapa mitos-mitos sejarah lainnya. Akan tetapi buku Asvi ini telah banyak membongkar mitos-mitos sejarah yang diciptakan oleh Orde Baru, sehingga kita kita bisa melihat sejarah dengan lebih manusiawi.










Contoh Resensi Buku Fiksi


Judul : Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Enak rasanya memahami dunia anak-anak dan berkecimpung di dalamnya. Anak-anak dapat berpikir seperti orang dewasa, bahkan lebih bijak lagi tanpa meninggalkan citra anak-anak yang suci dan polos. Itu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Ronald Dahl kepada pembaca Matilda. Buku setebal 259 halaman yang tidak terasa tebal jika dibaca ini menampilkan sosok Matilda, bocah 5 tahun yang hobinya membaca. Buku-buku karya pengarang dunia seperti Charles Dickens, Voltaire, Hemingway, Kliping, Tagori, Shakespiere sudah dibacanya saat umurnya belum genap 5 tahun.
Buku ini menarik karena diberi ilustrasi yang menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan memiliki adegan-adegan di luar batas kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah SD yang tega menarik kepang rambut muridnya dan membuat anak itu seperti baling-baling di atas kepala Kepsek hanya karena si anak tidak memotong rambut keemasannya? (hlm. 123). Mungkinkah pula ada seorang Kepsek yang mempunyai alat-alat untuk menghukum siswa bandel bak alat-alat penyiksaan di kamp Nazi; dan menyuruh seorang anak kecil memakan kue tar coklat berdiameter 20 cm? Dan rasanya tidak ada di dunia ini orangtua menganggap anak perempuannya yang bungsu (Matilda) sebagai bisul yang mengganggu (hlm. 10).
Meskipun cerita-ceritanya memberi kesan menyeramkan, kala membacanya kita tidak merasa merinding karena gaya penceritaan dibuat seringan mungkin, sesuai dengan sasaran pembaca buku ini, yaitu anak-anak SD di Inggris sana. Yang mungkin agak membuat pembaca Indonesia bingung adalah siapa sasaran pembaca buku ini. Dalam katalog, buku ini dikatagorikan sebagai fiksi anak-anak. Namun, mengingat jumlah halaman dan kosakatanya, buku ini terasa berat bagi anak-anak SD di Indonesia.
Matilda menceritakan seorang anak berumur 5 tahun yang memiliki kepandaian di atas ukuran orang dewasa. Sialnya, kepandaiannya ini tidak diperhatikan orangtuanya karena mereka tergolong orangtua yang menganggap anaknya sebagai kutu yang menjijikkan. Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda tidak berguna dan bodoh (hlm. 27). Hampir separoh kisah Matilda bercerita tentang ”pembalasan” Matilda terhadap sikap dan ucapan orang tuanya. Dengan kemampuan supernya, yaitu mampu menggerakkan barang hanya dengan pikiran saja, Matilda berhasil membantu Miss. Honey mendapatkan rumah dan uangnya yang diambil Kepala Sekolah SD, Ibu Thrunchbull.
Pembalasan Matilda dimungkinkan terjadi karena selain cerdas, Matilda juga banyak membaca. Matilda yang tersia-sia ini akhirnya tinggal dengan Miss. Honey, gurunya, karena orangtuanya dan kakaknya pindah ke Spanyol akibat kasus kejahatan yang mereka lakukan. Ronald Dahl tampaknya menekankan pentingnya kegemaran membaca. Tokoh-tokoh baik dan pintar dalam buku ini adalah orangorang yang gemar membaca, sedangkan tokoh-tokoh jahat seperti orangtua Matilda dan Kepsek adalah orang-orang yang hobinya bermain.

No comments:

Post a Comment