Tugas
Bahasa Indonesia "Menulis Resensi Buku Non-Fiksi"
Ketika Orde Baru Berakhir
Judul
: Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa
Penulis
: Asvi Warman Adam
Penerbit
: Kompas, PT. Kompas Media Nusantara
Tahun
: 2009
Tebal
:257 halaman
Buku ini merupakan kumpulan artikel Dr. Asvi Warman Adam
yang pernah terbit di Harian Kompas. Lalu ditambah lagi dengan satu
tulisan lagi dari Koran lain tentang Supriyadi. Asvi Warman Adam menulis
tentang sejarah dengan sisi lain dan menguraikannya menjadi suatu kebenaran
sejarah yang selama ini ditutupi tirani kekuasaan Orde Baru. Dengan bahasa yang
lugas, Asvi mengemukakan berbagai kontroversi tentang sejarah dan mengupasnya
satu-persatu.
Buku ini menyinggung enam tokoh yang pernah menjadi Presiden
RI dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau RI (Republik Indonesia)
dianggap sebagai suatu kesinambungan dari tahun 1945 sampai sekarang, maka ada
dua nama lagi yang perlu karena mereka pernah menjalankan fungsi Presiden
(walaupun hanya dalam hitungan bulan) yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan
Mr. Assaat. Sjafruddin yang menjadi ketua PDRI dengan ibu kota Bukittinggi dan
Mr. Assaat yang menjadi Presiden RI saat Soekarno menjadi Presiden RIS. Tentu
juga ada tokoh-tokoh lain seperti Agus Salim yang mengajarkan kita bagaimana
menjadi manusia merdeka, Sunario yang sangat tebal rasa kebangsaannya, Natsir
perdana menteri yang tekenal dengan Mosi Integralnya, serta Hoegeng jendral
polisi yang sulit ditandingi kejujurannya.
Asvi berpendapat sejarah tidak terlepas dari kekuasaan.
Penguasa memerlukan sejarah sebagai legitimasi. Untuk itu dilakukan
pembengkokan sejarah seperti yang terjadi pada era Orde Baru melalui kurikulum
serta buku pelajaran sejarah, museum, monument, film dan berbagai peringatan.
Dengan buku ini Peneliti Utama LIPI ini ingin meluruskan berbagai rekayasa
sejarah yang sengaja dibuat rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaanya. Lahirnya
Pancasila dan Serangan Umum 1 maret 1949 adalah dua contoh rekayasa yang sudah
diluruskan.
Polemik tentang pengangkatan Pahlawan Nasional pun
dihadirkan dalam buku ini. Mengapa ada seorang yang dianggat menjadi Pahlawan
Nasional namun sebagian lagi tidak dianggat (oleh Presiden)?. Jika betul daftar
Pahlawan Nasional adalah album perjuangan segenap anak bangsa, mangapa etnis
Tionghoa tidak terwakili. Pahlawan Nasional yang bersinggungan dengan kelompok
kiri pun seolah dilenyapkan dalam daftar Pahlawan Nasional, seperti Tan Malaka
dan Alimin. Jika sastrawan seperti Abdul Muis dan Ismail Marzuki bisa mendapat
gelar terhirmat ini, mengapa seorang Pembina olah raga atau atlet tidak?
Penulis yang lulus doctor sejarah dari EHESS Paris tahun
1990 ini juga meneliti tentang masalah-masalah ASEAN, Vietnam dan Kamboja.
Setelah 1998 dia sering menulis tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan
historiografi Indonesia dari prespektif korban. Sayangnya, buku ini hanya
memuat sejarah pasca era Kebangkitan Nasional sampai Reformasi. Padahal
perjalanan bangsa ini sudah dimulai dengan berdirinya berbagai kerjaan di
Nusantara sejak abad ke-4 masehi. Sejarah era tersebut juga masih banyak
menimbulakan kontroversi, seperti pusat kerajaan Majapahit yang belum jelas,
asal Walisongo yang masih diperdebatkan para ahli dan beberapa mitos-mitos
sejarah lainnya. Akan tetapi buku Asvi ini telah banyak membongkar mitos-mitos
sejarah yang diciptakan oleh Orde Baru, sehingga kita kita bisa melihat sejarah
dengan lebih manusiawi.
Contoh Resensi Buku Fiksi
Judul : Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Pengarang : Ronald Dahl
(Ilustrasi oleh Quentin Blake).
Alihbahasa : Agus Setiadi.
Penerbit : Gramedia, 1991.
Tebal : 259 halaman.
Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Enak rasanya memahami dunia anak-anak dan
berkecimpung di dalamnya. Anak-anak dapat berpikir seperti orang dewasa, bahkan
lebih bijak lagi tanpa meninggalkan citra anak-anak yang suci dan polos. Itu
kira-kira yang ingin disampaikan oleh Ronald Dahl kepada pembaca Matilda. Buku
setebal 259 halaman yang tidak terasa tebal jika dibaca ini menampilkan sosok
Matilda, bocah 5 tahun yang hobinya membaca. Buku-buku karya pengarang dunia
seperti Charles Dickens, Voltaire, Hemingway, Kliping, Tagori, Shakespiere
sudah dibacanya saat umurnya belum genap 5 tahun.
Buku ini menarik karena diberi ilustrasi yang
menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan memiliki adegan-adegan di luar batas
kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah SD yang tega menarik kepang rambut
muridnya dan membuat anak itu seperti baling-baling di atas kepala Kepsek hanya
karena si anak tidak memotong rambut keemasannya? (hlm. 123). Mungkinkah pula
ada seorang Kepsek yang mempunyai alat-alat untuk menghukum siswa bandel bak
alat-alat penyiksaan di kamp Nazi; dan menyuruh seorang anak kecil memakan kue
tar coklat berdiameter 20 cm? Dan rasanya tidak ada di dunia ini orangtua
menganggap anak perempuannya yang bungsu (Matilda) sebagai bisul yang
mengganggu (hlm. 10).
Meskipun cerita-ceritanya memberi kesan
menyeramkan, kala membacanya kita tidak merasa merinding karena gaya
penceritaan dibuat seringan mungkin, sesuai dengan sasaran pembaca buku ini,
yaitu anak-anak SD di Inggris sana. Yang mungkin agak membuat pembaca Indonesia
bingung adalah siapa sasaran pembaca buku ini. Dalam katalog, buku ini
dikatagorikan sebagai fiksi anak-anak. Namun, mengingat jumlah halaman dan
kosakatanya, buku ini terasa berat bagi anak-anak SD di Indonesia.
Matilda menceritakan seorang anak berumur 5 tahun
yang memiliki kepandaian di atas ukuran orang dewasa. Sialnya, kepandaiannya ini
tidak diperhatikan orangtuanya karena mereka tergolong orangtua yang menganggap
anaknya sebagai kutu yang menjijikkan. Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda
tidak berguna dan bodoh (hlm. 27). Hampir separoh kisah Matilda bercerita
tentang ”pembalasan” Matilda terhadap sikap dan ucapan orang tuanya. Dengan
kemampuan supernya, yaitu mampu menggerakkan barang hanya dengan pikiran saja,
Matilda berhasil membantu Miss. Honey mendapatkan rumah dan uangnya yang
diambil Kepala Sekolah SD, Ibu Thrunchbull.
Pembalasan Matilda dimungkinkan terjadi karena
selain cerdas, Matilda juga banyak membaca. Matilda yang tersia-sia ini
akhirnya tinggal dengan Miss. Honey, gurunya, karena orangtuanya dan kakaknya
pindah ke Spanyol akibat kasus kejahatan yang mereka lakukan. Ronald Dahl
tampaknya menekankan pentingnya kegemaran membaca. Tokoh-tokoh baik dan pintar
dalam buku ini adalah orangorang yang gemar membaca, sedangkan tokoh-tokoh
jahat seperti orangtua Matilda dan Kepsek adalah orang-orang yang hobinya
bermain.
No comments:
Post a Comment