BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dari
luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000
ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika
tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra,
Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas
total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut di Indonesia telah
dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan,
dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena wataknya yang sangat rapuh, luasan
lahan gambut di Indonesia cenderung mengalami penurunan, diperkirakan yang
masih tersisa tidak lebih dari 17 juta hektar (Kurnain, 2005). Bahkan dari data
yang telah dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun
2002, luasan lahan gambut di Indonesia hanya tersisa 13,203 juta hektar dari
16,266 juta hektar tahun 1997. Dari itu semua dan dari banyak publikasi yang
telah dirilis baik melalui pertemuan ilmiah maupun laporan ilmiah, satu hal
yang sudah pasti adalah telah terjadi degradasi hutan dan lahan gambut di
Indonesia. Degradasi ini terutama terkait dengan pengalihfungsian lahan gambut
alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan
lainnya, penipisan lapisan gambut oleh kegiatan pengatusan (drainase), dan
perusakan dan penipisan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Seperti kasus
Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah dan Seribu
Hektar di Kalimantan Selatan, telah menimbulkan kerusakan lingkungan sangat
hebat, termasuk peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut terutama selama
musim kering.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran
hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah
terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama
musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El
Nino-Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7
tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002).
Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir
tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.
Untuk
mempertegas keterkaitan periode iklim panas ENSO dengan peristiwa kebakaran
hutan dan lahan, perkenanlah saya mengungkapkan kembali sejarah kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia. Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui
terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka
(sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat
kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya
kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh
umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk
sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish,
2002).
Selanjutnya
pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi
terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode
iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan
adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah
kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia.
Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta
ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998), termasuk 750.000 ha di
Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai
yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut di
atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang
nampaknya cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.
2.2. Penyebab Kebakaran
Kebakaran
hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh
kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah
seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara serta-merta (spontan) akibat
panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan
menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH ) telah diketahui dapat memicu
terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002). Meskipun demikian, pemicu utama
terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia, yang
90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini. Faktor manusia yang
dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka
pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan
kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut
pengalaman di Malaysia (Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di
Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh
perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran
hutan dan lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan
cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang
berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup
membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara
dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002).
Hanya
saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran.
Dalam
skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan
gambut yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada
tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan
Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik
panas (hot spots), yang sebarannya semakin banyak ke arah saluran pengatusan
(drainase) yang telah dibangun (Jaya et al., 2000; Page et al., 2000). Ancaman
itu memang akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan
Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et al., 2000; Siegert
et al., 2002).
2.3. Sifat Kebakaran
Sifat
kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang
terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan
bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta
lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu
yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di
bawah permukaan. Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al., 2003) ada
dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah
permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15
cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan
berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe
yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang
proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 -1 -1cm jam
(atau 92 cm hari ).
Tipe
yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan.
Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan -1 -1(atau
29 cm hari ). Perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam
Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap
dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu,
kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat
sekalipun. Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan
gambut dapat meninmbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan
dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral).
Selain itu, cara penanganannya pun berbeda, karena karakteristik kebakaran di
kawasan bergambut yang khas daripada di kawasan tidak bergambut.
2.4. Akibat Kebakaran
Kebakaran
hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak langsung atas
lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect) atau di luar tapak kejadian
(off site effect). Akibat kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain adalah
kehilangan lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan, gangguan
atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia,
kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan
komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah
pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 35–70 cm (Jaya et al.,
2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas kestabilan lingkungan,
karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan karbon (C)
sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas emisi gas
karbondioksida (CO) ke atmosfer, yang turut berperan dalam pemanasan global
(Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah merusak vegetasi
hutan sehingga kerapatan pohon berkurang hingga 75% (D’Arcy & Page, 2002).
Dampak
utama kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang mempengaruhi jarak pandang
dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer permukaan,
akibat rendahnya kecepatan angin permukaan. Lapisan asap ini berdampak serius
pada sistem transportasi udara, dan pada kesehatan manusia serta flora dan
fauna. Pada kebakaran tahun 1997 berkurangnya jarak pandang di beberapa
kota di Kalimantan dan Sumatra antara bulan Mei dan Oktober telah mengakibatkan
penundaan jam terbang dan bahkan penutupan beberapa bandar udara. Di
beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra, terutama di daerah-daerah yang
banyak dijumpai kebakaran hutan dan lahan gambut, asap yang dihasilkan telah
mengakibatkan gangguan kesehatan terutama masyarakat miskin, lanjut usia, ibu
hamil dan anak balita. Jumlah kasus selama bulan September–November 1997 di
delapan propinsi di Kalimantan dan Sumatra tercatat 527 kematian, 298.125 asma,
58.095 bronkitis, dan 1.446.120 ISPA (infeksi saluran pernafasan akut),
termasuk di Kalimantan Selatan yang dijumpai 69 kasus kematian, 41.800 asma,
8.145 bronkitis, dan 202.761 kasus ISPA.
Kebakaran
hutan dan lahan gambut juga berdampak atas hilangnya beberapa potensi ekonomi
terutama di sektor kehutanan dan pertanian. Kerugian ekonomi pada sektor
kehutanan akibat kebakaran tahun 1997 mencapai Rp 2,4 trilyun untuk delapan
propinsi kawasan bergambut di Kalimantan dan Sumatra. Sedangkan di sektor
pertanian kerugiannya mencapai Rp 718 milyar. Akibat tidak langsung dari
kebakaran lahan gambut merupakan akibat lanjutan (post-effect) yang dihasilkan
ketika proses pemulihan hutan dan lahan gambut baik secara alamiah maupun
buatan manusia belum mencapai titik pulih. Akibat ini bisa terjadi selama
bertahun-tahun tergantung kemampuan untuk memulihkan. Akibat utamanya adalah
terganggunya fungsi hidrologis dan pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan
terbukanya hutan dan lahan gambut menyebabkan debit aliran permukaan dan erosi
akan meningkat dalam musim hujan sehingga dapat menyebabkan banjir. Selain itu,
hilangnya sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan vegetasi akan mengurangi
penyerapan CO2 hutan juga kehilangan fungsi pengaturan iklimnya.
2.5. Strategi Pengelolaan Kebakaran Hutan Lahan Gambut
Pengelolaan
atas kebakaran hutan lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian.
Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, serba-cakup (comprehensive),
dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).
2.6. Pencegahan kebakaran
Tindakan
pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan
bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh
bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan
kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di
lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah
wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna
hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya:
1.
Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing, dengan
mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis di samping secara ekonomis.
2.
Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan, serta sistem produksi
kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran, seperti pembukaan dan persiapan
lahan tanpa bakar (zero burning-based land clearing), atau dengan pembakaran
yang terkendali (controlled burning-based land clearing).
3.
Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan yang tidak tepat sesuai dengen
peruntukan dan fungsinya.
4.
Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran diantaranya dengan membuat
dan mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana
(wise use of peatland), dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
5.
Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan
tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini diharapkan dapat
mendorong dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran
berbasis masyarakat (community-based fire management).
6.
Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup penyelidikan terhadap
penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang diduga menyebabkan
kebakaran ke pengadilan.
7.
Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi kepada penyelesaian
masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran
(Fire Danger Rating System) dengan memadukan data iklim (curah hujan dan
kelembaban udara), data hidrologis (kedalaman muka ir tanah dan kadar lengas
tanah), dan data bahan yang dapat memicu timbulnya api. Kegiatan ini akan
memberikan gambaran secara kartografik terhadap kerawanan kebakaran.
Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan kebakaran.
2.7. Pengendalian kebakaran
Kegiatan
pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman
api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada
kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan
mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan
terutama di daerah rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat
pengukur debu di daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait
tentang bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah
rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya
kebakaran beserta dampaknya. Kesiagaan dalam pengendalian kebakaran bertujuan
agar perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya berada dalam keadaan siap
digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah membangun
partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para pengusaha
terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran. Tahapan ketiga adalah kegiatan
pemadaman api. Pada tahap ini usaha lokal untuk memadamkan api menjadi sangat
penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama
sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas. Pemadaman api di kawasan
bergambut jauh lebih sulit daripada di kawasan yang tidak bergambut.
Hal
ini terkait dengan kecepatan penyebaran api yang sangat cepat dan tipe api di
bawah permukaan. Strategi pemadaman api secara konvensional seperti pada
kawasan hutan dan lahan tidak bergambut harus dikombinasikan dengan cara-cara
khas untuk kawasan bergambut, terutama untuk memadamkan api di bawah permukaan.
Pemadaman api di bawah permukaan dengan menyemprotkan air ke atas permukaan
lahan tidaklah efektif, karena tanah gambut mempunyai daya hantar air cacak
(vertikal) yang sangat randah, tetapi daya hantar air menyamping (lateral)-nya
tinggi. Oleh karenanya pemadaman api bertipe ini hanya dapat dilakukan dengan
membuat parit yang diairi, seperti sekat bakar diairi (KATIR) yang telah
dikembangkan oleh Tim Serbu Api Universitas Palangkaraya. Cara lainnya adalah
penyemprotan air melalui lubang yang telah digali hingga batas api di bawah
permukaan, seperti yang dilakukan di Malaysia (Musa & Parlan, 2002).
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
perspektif Kalimantan Selatan, atas persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut
meliputi tiga hal pokok sebagai berikut:
1.
Berdasarkan hasil sigi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat yang
dipublikasikan pada tahun 2002 luas lahan gambut di Kalimantan Selatan tersisa
sekitar 139.000 ha, yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tiga propinsi
lainnya di Kalimantan. Oleh karenanya tindakan pencegahan atas kebakaran lahan
gambut harus lebih diperioritaskan agar keberadaan lahan gambut di Kalimantan Selatan
tetap terjaga.
2.
Ironisnya keberadaan lahan gambut di Kalimantan Selatan cenderung terganggu
oleh adanya kegiatan lainnya seperti pembangunan infrastruktur jalan dan
bangunan lainnya yang marak terjadi akhir-akhir ini. Oleh karenanya diperlukan pemberdayaan
penatagunaan lahan dan kepemilikan lahan agar keberadaan dan fungsi hidrologis
lahan gambut di Kalimantan Selatan tetap terjaga. Jika tidak dilakukan, bahaya
banjir pada musim hujan bukan tidak mungkin akan terjadi.
3.
Meskipun intensitas dan kapasitas kebakaran hutan dan lahan gambut di
Kalimantan Selatan tidak sebanyak yang terjadi di tiga propinsi lainnya di
Kalimantan, kabut asap yang melintasi batas propinsi sering menyelimuti udara
Kalimantan Selatan. Oleh karenanya tindakan mitigasi perlu dilakukan untuk
mengurangi dampak kebakaran terhadap kesehatan dan sektor transportasi.
No comments:
Post a Comment